AL-RIJS DALAM AL-QUR’AN: Suatu Kajian Tafsir Tematik (TAFSIR TERHADAP QS. AL-A‘RĀF (7): 71)

(Bagian Kedua)

Oleh: Hemi Ratmayanti, S.Th.I

(Alumnus Pesantren Abū Hurayrah Sapeken, Jawa Timur)

Al-rijs merupakan salah satu bentuk dari azab yang Allah subhānahu wa ta‘ālā turunkan kepada ummat-ummat terdahulu, seperti ummat nabi Hūd ‘alayh al-shalāt wa al-salām, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-A‘rāf (7): 71, sebagai berikut:

قال قد وقع عليكم من ربكم رجس وغضب أتجدلوننى فى أسمآء سميتموها أنتم وءاباؤكم ما نزل الله بها من سلطان فانتظروا إنى معكم من المنتظرين

Terjemahnya:

Dia (Hūd) menjawab, “Sungguh, kebencian dan kemurkaan dari Tuhan akan menimpa kamu. Apakah kamu hendak berbantah denganku tentang nama-nama (berhala) yang kamu dan nenek moyangmu buat sendiri, padahal Allah tidak menurunkan keterangan untuk itu. Jika demikian, tunggulah! Sesungguhnya aku pun bersamamu termasuk yang menunggu”.[1]

Pada ayat sebelumnya, QS. (7): 65-70, berbicara tentang kaum Nabi Hūd yang menolak ajakan Nabi mereka dan berkata dengan penuh keangkuhan serta tanpa dasar kecuali mengikuti tradisi yang usang lagi buruk, “Apakah engkau wahai Hūd datang dari Dia (Allah subhānahu wa ta‘ālā) yang engkau akui telah mengutusmu kepada kami dan memerintahkan agar kami menyembah hanya kepada-Nya, tanpa mempersekutukan-Nya atau mengangkat perantara-perantara antara kami dengan Dia yang Mahatinggi, lalu kami tinggalkan dengan menilai buruk apa yang pernah dan secara terus menerus disembah oleh leluhur kami? Sungguh ajakanmu itu tidak dapat kami terima, karena itu, jika engkau mengancam kami maka datangkanlah dengan segera apa yang engkau janjikan kepada kami yakni ancaman itu jika engkau memang termasuk orang-orang yang benar dalam ancaman yang kamu sampaikan.”

Qāla qad waqa‘a ‘alaykum“, kata waqa‘a merupakan kata kerja bentuk lampau (fi‘il mādhiy) yang artinya sesuatu yang “telah menimpa”, namun pada hakekatnya ketika Hūd mengatakan itu, azab yang dimaksud belum turun, hanya saja hal ini ingin menunjukkan bahwa azab itu benar-benar dan pasti akan datang.[2]

Rupanya setelah sekian lama dan berulang-ulang nasihat dan tuntunan yang disampaikan oleh Nabi Hūd dengan penuh keramahan, tetapi kaumnya tetap saja berkeras membangkang maka yakinlah dia bahwa ancaman Allah subhānahu wa ta‘ālā pasti berlaku terhadap mereka, maka atas dasar itu Nabi Hūd berkata kepada para pendurhaka itu, “Pasti akan tertimpa atas kamu azab (siksa) yang pedih serta murka yang keras sehingga kamu samasekali tidak akan mampu mengelak.”

Al-Suyūthiy menyatakan bahwa seluruh kata al-rijs dalam al-Qur’an berarti azab. Ibnu ‘Abbas menafsirkan bahwa kata rijs dalam ayat ini berarti laknat sedang gadhab berarti azab.[3] Al-Rāziy nampaknya kurang setuju bila kata rijs pada ayat ini diartikan dengan azab, karena katanya, gadhab juga berarti azab, kalau rijs diartikan azab maka terjadi pengulangan, padahal rijs itu lawan kata dari al-tazkiyah (pembersihan) dan al-tathahhur (pensucian).[4] Selanjutnya, Al-Alūsiy mengartikan kata gadhab dengan irādat intiqām (hendak menyiksa).[5]

Selanjutnya, Nabi Hūd menjelaskan kepada mereka kedurhakaan yang mengundang siksa Allah subhānahu wa ta‘ālā itu yang ia jelaskan dalam bentuk pertanyaan yang mengandung kecaman dan penolakan. Nabi Hūd ‘alayh al-shalāt wa al-salām berkata, “Apakah kamu membantah aku menyangkut nama-nama, yaitu berhala-berhala yang kamu dan leluhurmu sebut sebagai tuhan-tuhan, padahal Allah subhānahu wa ta‘ālā tidak menurunkan menyangkut (bolehnya) penyembahan kamu atasnya atau menyangkut pemberian nama terhadapnya.” Maksudnya Allah subhānahu wa ta‘ālā sama sekali tidak membenarkan ibadah yang kalian lakukan itu, karena penyembahan itu hanya khusus untuk yang dapat memberikan manfaat dan mudarat, pahala bagi yang taat, menyiksa bagi yang berbuat maksiat, padahal patung yang kamu sembah itu sama sekali tidak memberikan apa-apa. Setelah menjelaskan kedekatan tibanya siksa dan penyebab siksa itu Nabi Hūd mengakhiri ancaman itu dengan menyatakan, “Nantikanlah kedatangan siksa itu, sesungguhnya aku bersama kamu termasuk orang yang menanti kedatangannya.[6]

Pada ayat sesudahnya, QS. (7): 72, menerangkan tentang siksa Allah yang dijanjikan itu akhirnya datang juga, dan karena kehadiran Nabi Hūd merupakan rahmat bagi yang menyambut dakwahnya dan untuk menggambarkan betapa besar anugerah dan perhatian Allah subhānahu wa ta‘ālā kepada kaum beriman, maka ayat ini terlebih dahulu menegaskan bahwa ketika kehadiran ancaman siksa itu disaksikan oleh semua yang menanti termasuk Nabi Hūd ‘alayh al-shalāt wa al-salām maka Allah subhānahu wa ta‘ālā menyelamatkannya terlebih dahulu beserta orang-orang yang beriman. Penyelamatan itu semata-mata disebabkan rahmat yang besar dari Allah subhānahu wa ta‘ālā; dan bagi kaum Nabi Hūd yang mendustakan ayat-ayat Allah, para penyembah berhala, dan menolak kenabian Hūd ‘alayh al-shalāt wa al-salām maka Allah subhānahu wa ta‘ālā siksa mereka dan tidak akan pernah menjadi orang-orang yang beriman karena hati mereka tertutup sehingga tidak akan menerima kebenaran..[7]

Dalam sebuah hadits Rasulullah shalla Allāh ‘alayh wa sallam menyebut penyakit thā‘ūn sebagai suatu bentuk (rijs) siksaan kepada Baniy Isrā’īl atau ummat terdahulu, sebagai berikut:

عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ سَمِعَهُ يَسْأَلُ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ مَاذَا سَمِعْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الطَّاعُونِ فَقَالَ أُسَامَةُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ)) الطَّاعُونُ رِجْسٌ أُرْسِلَ عَلَى طَائِفَةٍ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَوْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ قَالَ أَبُو النَّضْرِ لاَ يُخْرِجْكُمْ إِلاَّ فِرَارًا مِنْهُ))[8]

Terjemahnya:

Dari ‘Āmir ibn Sa‘d ibn Abiy Waqqās dari bapaknya (yakni Sa‘d), bahwa dia mendengar (bapak)-nya bertanya kepada Usāmah ibn Zayd, “Apa yang anda dengar dari Rasulullah shalla Allāh ‘alayh wa sallam tentang thā‘ūn?”, Usāmah menjawab, “Rasulullah shalla Allāh ‘alayh wa sallam bersabda; thā‘ūn itu rijs (siksaan) atas suatu golongan dari Baniy Isrā’īl atau orang-orang sebelum kalian, apabila kalian mendengar (thā‘ūn itu mewabah) di suatu tempat, maka jangan datang ke tempat itu, bila mewabah di tempat di mana kamu berada maka janganlah kamu keluar lari darinya.”, (salah seorang perawi hadits ini bernama) Abū al-Nadhr berkata, “Jangan kamu keluar kecuali lari darinya”.

Hadis ini menjadi suatu penjelasan dari Rasulullah, bahwa penyakit thā‘ūn merupakan salah satu bentuk rijs (siksaan) yang diturunkan kepada umat terdahulu yang menentang seruan-seruan rasul. Wallahu a‘lam bi al-shawāb. (BERSAMBUNG)

Endnote

[1] Departemen Agama RI., Al-Hikmah: Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Cet. X; Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2005 M.), h. 159

[2] Muhammad ibn Yūsuf Abū Hayyān al-Andalūsiy, Tafsīr al-Bahr al-Muhīth, Juz V, (Cet. I; Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1413 H.-1993 M.), h. 89

[3] ‘Abd al-Rahmān Jalāl al-Dīn al-Suyūthiy, Al-Durr al-Mantsūr fī al-Tafsīr bi al-Ma’tsūr, Jilid III, (Beirūt: Dār al-Fikr, 1414 H.-1993 M.), h. 486

[4] Muhammad al-Rāziy Fakhr al-Dīn ibn al-‘Allāmah Dhiyā’ al-Dīn ‘Umar, Tafsir al-Fakhr al-Rāziy al-Musytahir bi al-Tafsīr al-Kabīr wa Mafātih al-Gayb, Jilid VII, (Beirūt: Dār al-Fikr, 1414 H.-1994 M.), h. 167

[5] Abū al-Fadhl Syihāb al-Dīn al-Sayyid Mahmūd al-Alūsiy, Rūh al-Ma‘āniy fī Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm wa Sab‘u al-Matsāniy, Juz V, (Beirūt: Dār al-Fikr, 1414 H.-1994 M.), h. 236

[6] Abū Ja‘far Muhammad ibn Jarīr al-Thabariy, Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āyi al-Qur’ān, Jilid V, (Beirūt: Dār al-Fikr, 1415 H.-1995 M.), h. 289

[7] Ibid., h. 290

[8] Abū Abdillah Muhammad ibn Ismā‘īl al-Bukhāriy, Shahīh al-Bukhāriy, (t.d.)


2 respons untuk ‘AL-RIJS DALAM AL-QUR’AN: Suatu Kajian Tafsir Tematik (TAFSIR TERHADAP QS. AL-A‘RĀF (7): 71)

  1. Ustadz, mohon informasi kelanjutan atau sambungan hingga tamat, “AL-RIJS DALAM AL-QUR’AN: Suatu Kajian Tafsir Tematik (TAFSIR TERHADAP QS. AL-A‘RĀF (7): 71”, syukran

Tinggalkan komentar