Pengaruh Kasta pada Masyarakat Indonesia

Pengaruh Kasta Pada Masyarakat Indonesia

Oleh *Suud Hasanuddin

Muqaddimah

Dalam sejarah Hindu Jawa, masyarakat mengenal adanya kasta. “Brahmana” adalah kasta yang dimiliki oleh para pemimpin spiritual dalam masyarakat hindu jawa dahulu, kemudian “Ksatria” adalah kasta yang dimiliki oleh para pejabat dan punggawa kerajaan. Lalu “Waisya” adalah kasta yang diberikan kepada mayarakat kecil, seperti pedagang, nelayan dan kaum buruh, dan yang terakhir golongan “Sudra” adalah para hamba sahaya dan mereka yang memiliki pekerjaan hina.

Namun kasta yang demikian itu tidak otomatis hilang begitu saja bersamaan dengan bergesernya pengaruh hindu pada masyarakat jawa. padahal kaum terpelajar mengetahui bahwa salah satu penghambat perkembangan masyarakat adalah adanya kasta, karena kasta menuntut masyarakat untuk memberikan sikap dan penghormatan secara khusus kepada kasta tertentu.

Walaupun kasta hindu ( brahma, kesatria, waisya dan sudra ) tidak terpakai lagi di masyarakat jawa, begitu juga pangilan “raden” dan “raden ajeng” (kepada putra dan putri kerajaan), namun hal itu tergantikan dengan model yang lain, yang kalau kita mendalami maka akan mendapatkan persamaan dalam perlakuan pada golongan tertentu.

Satu Makna, Beda Penggunaan

Kata “Gus” tidak diketahui secara pasti sejak kapan penggunaanya. “Gus” pada arti asalnya, adanya sama saja dengan “Cak” ( sapaan akrab masyarakat jawa timur untuk laki-laki paruh baya ). Namun, kata “Gus” lambat laun memiliki penggunaan secara tersendiri. Kata “Gus” biasanya diberikan kepada putra seorang kyai atau orang-orang yang memiliki hubungan keturunan dengan kyai, “Gus” bukan dihasilkan dari tingkat keintelektualan seseorang, atau juga jasanya terhadap masyarakat. Kecuali di daerah-daerah tertentu (Jawa Tengah dan Jawa Timur) kata “Gus” dan “Cak” memiliki penggunaan yang sama.

Gus Kasta Baru

Kata “Gus” benar-benar memiliki makna secara khusus pada sebagian masyarakat kita. Bukti akan penggunaan kata “Gus” secara khusus adalah Abdurrahman Wahid, acap kali di panggil dengan pangilan akrab “Gus Dur”. Akan tetapi, Nurcholis Madjid tidak terdengar oleh kita disapa dengan sapaan akrab Gus Nur, tapi dia biasa disapa dengan sapaan akrab “Cak Nur”. Padahal secara intelektual dan pendidikan formal Cak Nur tidak kalah bila dibandingkan dengan mantan Presiden Republik Indonesia KH. Abdurrahman Wahid, yang biasa disapa dengan “Gus Dur”.

Bukan Hanya Penggunaan Tapi Juga Perlakuan

Seorang yang dipangil “Gus” biasanya mendapatkan perlakuan istimewa dibanding yang lain, dalam hal penghormatan dan lain sebagainya. tidak sebagaimana layaknya, yang lebih muda menaruh rasa hormat kepada yang tebih tua, buktinya adalah dalam masyarakat tidak jarang kita jumpai orang yang lebih tua harus menaruh hormat kepada yang lebih muda, disebabkan yang lebih muda memiliki garis keturunan kekyaian. Bahkan tidak jarang masyarakat awam mempercayai bahwa para “Gus” memiliki khasiat tersendiri dalam kehidupan ini. Ada yang berdatangan kepada mereka untuk memintah berkah, jampi-jampi dan lain sebagainya. Sehingga mereka benar-benar ditempatkan sebagai manusia yang dikeramatkan. Sampai ada sebuah ungkapan “ jangan mencela gus, nanti bisa kualat”.

Arabisme Tak Mau Kalah

Demikian pula masyarakat jawa mengenal istilah “Habieb”. Sama halnya dengan Gus, kata habieb tidak diketahui asal mula penggunaannya. Namun dari sisi kebahasaan bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa istilah Habieb erat kaitannya dengan pengaruh masuknya orang arab ke daratan Indonesia. Pada dasarnya Habieb adalah pangilan yang digunakan untuk memanggil seseorang yang kita cintai, entah itu istri (habiebati) juga suami (habiebi) atau juga anak keturunan yang kita cintai. Namun kata Habieb ini, dalam masyarakat Indonesia diberikan kepada orang-orang keturunan arab yang sama artinya dengan “Sayyid” (sebagai panggilan kehormatan kepada orang yang lebih tua atau yang dituakan).

Habieb Makna Tersendiri.

Seiring berjalannya waktu, maka kata “Habieb” juga melalui masa penggunaan yang semakin dipersempit. “Habieb” dikemudian hari seolah menjadi sebuah gelar dan bahkan menjadi sebuah ‘iklan’ tersendiri dalam masyarakat Indonesia. “Habieb” sering diberikan kepada orang-orang yang ‘diduga’ memiliki hubungan kekeluargaan dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dipercaya memiliki “keistemewaan tersendiri”, yang tidak dimiliki oleh orang lain.

Sama halnya dengan “Gus”, “Habieb” juga mendapat perlakukan istimewa pada sebagian masyarakat Indonesia, hal tersebut disebabkan mayarakat menyimpan kepercayaan bahwa Habieb dapat memberi berkah, dan tak jarang masyarakat yang menganggap bahwa Habieb memiliki kemaksuman yang dikait-kaitkan dengan garis keturunan.

Kejujuran Terhadap Garis Keturunan

Garis keturunan dalam Islam adalah diambil dari garis bapak (patrilineal). Kalau mau jujur, di dunia ini tidak ada lagi orang yang memiliki garis keturunan yang bersambung kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, karena beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak memiliki keturunan berikutnya, dari anak laki-laki. Memang Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mempunyai anak laki-laki (Qashim, Abdullah, Ibrahiem) namun mereka wafat pada usia yang masih tergolong dini. Justru yang ada adalah cucu Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Hasan dan Husain, dari buah pernikahan anak perempuannya yang bernama Fatimah dengan Ali Radhiallahu ‘Anhuma.

Dalam masyarakat kita, diyakini Habieb berkaitan erat dengan Ahlul Bait (Keluarga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam). sebab secara garis besar, orang yang dipanggil Habieb dipercaya sebagai bagian dari Ahlul Bait, yang kepada mereka masyarakat seolah dituntut untuk menaruh hormat.

Manusia Yang Dikeramatkan Bak Setengah Dewa Atau Setengah Berhala

Sebagian masyarakat Indonesia hingga saat ini, masih banyak yang mempercayai adanya tuah, kesaktian atau kekeramatan pada barang-barang tertentu, misalnya berupa senjata: keris, tombak atau juga batu-batu tertentu. Demikian juga para Gus dan Habieb, mereka dipercaya oleh sebagian maysarakat memiliki tuah dan kesaktian. Walhasil, mereka adalah orang-orang yang dikeramatkan oleh sebagian masyarakat kita, dipercaya dapat mendatangkan manfaat, juga menolak bahaya. Oleh karena itu, tak jarang kita melihat pemandangan permohonan berkah, minta ‘aji-aji’ pada masyarakat kita, supaya dilariskan dagangannya, supaya diselamatkan dari musuh yang sedang mengancamnya, atau mendapatkan jabatan yang ia inginkan. Sehingga mereka dianggap sebagai manusia yang dikeramatkan (manusia setengah dewa atau manusia setenggah berhala).

Padahal yang dikehendaki dalam Islam adalah penghormatan kepada semua manusia tanpa membedakan garis keturunan, warna kulit, suku, atau kebangsaannya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda dalam khutbah di hari tasyrik:

“ wahai manusia, ketatuilah bahwasanya Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Satu, dan garis keturunan kalian juga satu (kepada Nabi Adam alaihi wasalam,red.), tidaklah orang arab lebih baik daripada selain arab, demikian juga sebaliknya. Dan orang yang berkulit merah tidaklah lebih baik daripada yang berkulit hitam dan demikian juga sebaliknya, kecuali dilihat dari ketaqwaanya…. ( HR.Ahmad )

Adapun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam hanyalah berpesan tentang mereka dalam haditsnya, bukanlah supaya kita menempatkan ahlul bait dalam posisi sebagai manusia yang dikeramatkan. Akan tetapi sebagai manusia biasa, yang kita harus menaruh perhatian kepada mereka, sebab tidak dihalalkan bagi mereka harta zakat. Itu berarti, kalaupun mereka jatuh dalam kemiskinan, jangan sampai kita memberikan harta zakat kepada mereka, sebab harta zakat itu haram bagi mereka.

Adapun ahlul bait, bukan hanya terbatas kepada keturunan Ali bin Abi Tholib Radhiallahu Ta’ala ‘Anhu dan keturunan Hasan dan Husain saja. Akan tetapi termasuk juga keturunan ‘Uqail, Ja’far, dan Abbas (semua itu adalah tergolong Banu Hasyim), yang pada akhirnya kita dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Dalam Islam, tidak ada penghormatan yang berlebihan kepada seseorang yang disandarkan pada garis keturunan, suku, kebangsaan, atau warna kulit. Apalagi sampai mengkeramatkan.

Diperintah untuk menghormati orang yang lebih tua dari kita.

Harta zakat haram bagi ahlul bait.

Diperintahkan memperhatikan ahlul bait.

Ahlul bait bukan terbatas kepada keturunan Hasan dan Husain saja.

Wallahu a’lam bis showab

Maraji’:

Ensiklopedi Islam

Raudhatul Anwaar Fie Sieratil Mukhthar

Agama Wahyu Dan Kepercayaan Budaya

Mausu’ah fiqhiyah

Lisanul ‘Arab

Shahih Bukharie bab khusuf

Shahih Muslim bab Fadhail as-Shahabah

Musnad Ahmad bin Hanbal

Al-Madkhal fie ‘Ilmi at-Tauhid


3 respons untuk ‘Pengaruh Kasta pada Masyarakat Indonesia

  1. “Harta zakat haram bagi ahlul bait”

    My questionz:

    1. Apa hikmah dr hadist itu?

    2. Pernah ada case…sbelum crismon ’98, s’orang ahlul bait emang menolak terang2an nggak nerima zakat dgn m’andalkan hadist di atas. Tp stelah crismon, dia welcome dgn zakat itu. Apa ada hadist laen yg m’nunjang sikap-nya itu? Misalnya, di hadist yg Ust.Su’ud sebut di atas “…kalaupun mereka jatuh dalam kemiskinan…” sdgkan sicon dia pd saat itu mungkin bisa dibilang emang nggak miskin, cuma jadi korban crimon aja. So…?

    JazaakaLLOHU biahsanil jazaa’…
    ‘Afwan ya… 🙂

  2. jawaban buat bunda, from the author. afwan telat bunda. kebanyakan ulama menyebutkan bahwa hikmah tidak dibolehkannya harta zakat kepada Ahlu Bait adalah, sebagaimana yang termaktub di dalam Al-Qur’an; al-Ahzab 33.

    namun pendapat penulis pribadi akan hal ini semua adalah;
    ahlul bait seharusnya memiliki beban moral lebih besar daripada yang lain, terhadap da’wah Islam ini.
    seorang ahlul bait harus dapat menjadi tauladan bagi ummat, baik secara keagamaan dan sosial kemasyarkatan.
    untuk menjaga harga diri serta kemulyaan ahlul bait itu sendiri.

Tinggalkan komentar