Munculnya Pemalsuan dan Isra’iliyyat di Dalam Tafsir

Disusun oleh: Azmi Muhammad Haqqy

I. Pemalsuan di dalam Tafsir

Muqaddimah

Pemalsuan yang terjadi di dalam tafsir muncul sejak periode awal seiring dengan tersebarnya Islam ke seluruh penjuru dunia, sama halnya seperti pemalsuan yang terjadi pada Hadits Rasulullah SAW. Gerakan pemalsuan ini terjadi sebagai dampak dari munculnya berbagai macam faham dan firqoh (golongan) yang menyempal dari aqidah Islam yang murni, yang di tandai dengan fitnah terbunuhnya Khalifah Utsman bin ‘Affan RA, dan berlanjut dengan terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib RA pada tahun ke 14 Hijriyah. Yang mana dengan terjadinya fitnah (terbunuhnya Khalifah Utsman RA dan Ali RA, pen) tersebut muncullah Syi’ah dan Khawarij, serta berkembang sekte-sekte dan aliran-aliran Ahlul Bid’ah dan kaum penurut hawa nafsu.

Dan sungguh setiap kelompok sekte-sekte ini telah melancarkan propaganda untuk menguatkan Madzhabnya dengan memalsukan banyak riwayat dan Aqwal. Maka penuhlah kitab-kitab Tafsir (secara khusus kitab-kitab Tafsir bil-Ma’tsur) dengan riwayat-riwayat palsu.

Sebab-sebab Pemalsuan riwayat di dalam Tafsir

Adapun beberapa sebab yang mendorong timbulnya pemalsuan yang terjadi di dalam kitab-kitab Tafsir adalah sebagai berikut:

  1. Fanatisme golongan dan pertarungan pemikiran

Sungguh sikap fanatik terhadap golongan ini telah membuat para pengikutnya untuk menguatkan madzhabnya, dan menyebarkan berbagai propaganda dengan menghalalkan segala macam cara. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh golongan Syi’ah yang memalsukan banyak riwayat dan menisbahkannya kepada Rasulullah SAW dan Ahlul Bait. Begitupula yang dilakukan oleh kaum Khawarij, dan yang selain mereka.

  1. Perbedaan sikap politik

Banyak dari para pengikut suatu gerakan politik saling berlomba untuk memalsukan tafsir demi menguatkan partai mereka. Maka bermunculanlah banyak riwayat yang berbeda-beda dengan disandarkan kepada Ahlul Bait seperti Ali bin Abi Thalib RA dan Ibnu Abbas. Oleh karena itu, banyak kita dapati riwayat yang bersumber dari kedua Shahabat tersebut, disebabkan pemalsuan yang dinisbahkan kepada mereka berdua.

  1. Tipu daya terhadap Islam

Banyak dari musuh-musuh kaum Muslimin yang pura-pura masuk Islam dengan tujuan infiltrasi, dan memporak-porandakan Islam dari dalam. Hal ini mereka lakukan karena dendam yang mereka simpan disebabkan kekalahan mereka di medan pertempuran maupun dalam perang pemikiran dengan kaum Muslimin. Maka mulailah para kaum Munafiq ini merekayasa dan mulai memalsukan serta menyebarkan riwayat-riwayat bathil dan pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan Aqidah Islam, dengan tujuan untuk mendistorsi makna Islam yang hakiki.

Dampak Pemalsuan di dalam Tafsir

Ketika telah meluas pemalsuan yang terjadi di dalam Tafsir, maka hal ini akan mengakibatkan:

1. Tercampurnya riwayat Tafsir yang Shahih dengan selainnya.

2. Banyak riwayat-riwayat shahih yang dinukil dari para Salafush-Shalih yang ditinggalkan, karena keraguan (yang disebabkan point pertama, pen) yang menghilangkan keyakinan terhadap riwayat-riwayat yang pada realitanya merupakan riwayat yang shahih.

3. Banyaknya riwayat yang tidak memiliki sanad, dan hal ini akan menyulitkan para ahli Tafsir maupun ahli Hadits dalam menyeleksi suatu riwayat, apalagi bagi mereka yang tidak mumpuni dalan membedakan antara riwayat shahih dan dha’if . Karena setelah dibuangnya sanad dari sebuah riwayat, akan sangat sulit untuk membahas derajat suatu riwayat serta menganalisanya.

4. Memberikan kesempatan bagi musuh-musuh Islam (khususnya para orientalis), untuk mencela agama Islam dan para Ulama disebabkan riwayat palsu tersebut.

II. Isra’iliyyat[1] di dalam Tafsir

Isra’iliyyat Pada Masa Shahabat RA

Sebagaimana pemalsuan yang telah tersebar di dalam kitab-kitab Tafsir, begitupula dengan Isra’iliyyat. Ada yang menganggap bahwa Isra’iliyyat telah muncul sejak zaman para Shahabat (semoga Allah meridhoi mereka).

Sebagian Shahabat apabila dihadapkan pada sebuah kisah dari kisah-kisah Al-Qur’an yang Mujmal (Global), maka mereka menanyakan penjelasan atau tafsiran ayat tersebut dari Aslam (seorang Ahli kitab). Karena di dalam kitab-kitab agama samawi (Taurat maupun Injil) terdapat banyak kesamaan di dalam penyebutan beberapa kisah, walaupun berbeda dari segi pemaparan kisah-kisah tersebut.

Para Shahabat RA sangat berhati-hati dalam menerima riwayat yang bernuansa Isra’iliyyat, mereka tidak bertanya kepada Ahli Kitab kecuali untuk menjelaskan hal-hal yang Mubham (samar) dan Mujmal yang belum dijelaskan oleh Rasulullah SAW. Dan mereka juga tidak menyibukkan diri dengan pertanyaan tentang perkara-perkara yang tidak perlu (nonsense), karena hal tersebut percuma dan sia-sia. Seperti pertanyaan tentang warna anjing Ashabul Kahfi, tentang jenis semut yang berbicara dengan Nabi Sulaiman AS. Mereka (para Shahabat RA) terlalu mulia untuk menyibukkan diri dengan pertanyaan seperti itu.

Para Shahabat RA tidak pernah melampaui manhaj Rasulullah SAW, yang membolehkan menerima riwayat dari Ahli Kitab tanpa berlebih-lebihan.

Sabda Nabi SAW:

1. “Sampaikan dari-Ku walau satu ayat, dan tidak mengapa untuk menceritakan riwayat dari Bani Isra’il, dan barang siapa yang berdusta atas nama-Ku dengan sengaja, maka hendaklah dia menyiapkan tempatnya di Neraka.” (HR. Bukhari)

2. “Janganlah kalian mempercayai Ahli Kitab, dan jangan pula mendustainya. Dan Katakanlah (hai orang-orang mukmin): “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, dan Ya’qub.” (HR. Bukhari)

Jika Hadits pertama membolehkan menerima perkataan Bani Isra’il, maka Hadits kedua bersikap Tawaqquf (menahan diri). Tetapi sesungguhnya tidak ada kontradiksi di antara keduanya. Sebab, Hadits pertama membolehkan menerima riwayat Ahli Kitab yang telah diketahui kebenarannya serta terdapat pelajaran dan ibrah di dalamnya. Sedangkan Hadits kedua, ditujukan kepada riwayat Isra’iliyyat yang tidak diketahui kebenaran maupun kedustaannya. Maka ketika itu kita wajib Tawaqquf dengan tidak membenarkan ataupun mendustainya, dikarenakan adanya kemungkinan bahwa apa yang mereka sampaikan memiliki realitas kebenaran, akan tetapi kita mendustainya, ataupun sebaliknya (apa yang mereka sampaikan dusta, tetapi kita mempercayainya, maka dikhawatirkan kita terjatuh ke dalam dosa dan kehinaan, disebabkan pendustaan kita kepada kebenaran).

Adapun Riwayat Isra’iliyyat yang telah diketahui menyalahi syari’at Islam, maka tiada mengapa (bahkan harus) didustai. Dan apa yang diketahui (dari riwayat Ahli Kitab, pen) sesuai dengan syari’at boleh dipercaya atau diterima.

Isra’iliyyat pada zaman Tabi’in

Demikianlan yang telah dilakukan oleh para Shahabat RA dalam menerima riwayat dari Ahli Kitab. Adapun para Tabi’in, pada zaman mereka telah berkembang pesat pengambilan informasi dari Ahli Kitab, maka terjadilah banyak Isra’iliyyat di dalam Tafsir. Apalagi pada masa itu banyak Ahli Kitab yang memeluk agama Islam. Hal ini mendorong rasa penasaran orang-orang Arab Muslim untuk mengetahui secara men-detail terhadap apa-apa yang terdapat di dalam Al-Qur’an yang berbicara tentang agama Yahudi dan Nasrani, juga tentang proses penciptaan alam semesta. Maka sebagian Ulama Tabi’in banyak menukil tentang perkara-perkara tersebut dari para Ulama Ahli Kitab yang telah memeluk agama Islam. Sehingga penuhlah kitab-kitab Tafsir dengannya.

Salah satu di antara mereka (Tabi’in yang banyak menukil kisah-kisah Isra’iliyyat, pen) adalah Muqatil bin Sulaiman (wafat pada tahun 150H), Abu hatim berkata tentangnya; Bahwasanya dia telah memperoleh ilmu-ilmu tentang Al-Qur’an dari orang-orang Yahudi dan Nasrani, dan menjadikannya serupa dengan apa-apa yang terdapat di dalam kitab-kitab mereka.

Isra’iliyyat pada masa setelah Tabi’in

Kemudian datang setelah zaman Tabi’in orang-orang yang Tasahhul dalam mengambil riwayat dari Ahli Kitab. Pada masa ini banyak orang yang menukil kisah-kisah Isra’iliyyat yang sama sekali tidak masuk akal dan dapat menghancurkan pemahaman terhadap nash-nash yang Sharih. Maka penuhlah kitab-kitab tafsir dengan cerita-cerita Isra’iliyat pada masa Tadwin, yang mana hal ini sangat mngguncang relevasi kitab-kitab tafsir tersebut, serta membuat celah bagi musuh-musuh Islam untuk menyerang Islam dengan senjata Isra’iliyyat tersebut.

Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir :

“Sesungguhnya kebanyakan Tafsir bil- Ma’tsur (Tafsir dengan jalan periwayatan) telah tersebar dari para perawi dari kalangan Zindiq, Yahudi, bangsa Persia,maupun para Ahli Kitab yang telah memeluk agama Islam.”

Berkata Ulama yang lain:

“Kebanyakan cerita Isra’iliyyat itu terdapat pada kisah-kisah para Rasul dan ummatnya, juga apa saja yang berhubungan dengan kitab-kitab mereka dan Mukjizatnya. Dan juga pada sejarah selain Rasul, seperti kisah Ashabul Kahfi, tentang kota-kota yang di hancurkan, tentang sihir di Babylon, juga tentang perkara-perkara gha’ib yang termasuk tanda-tanda hari kiamat. Banyak pula terdapat khurafat dan mitos-mitos dusta.” Oleh karena itu berkata Imam Ahmad: ” Ada 3 perkara yang tidak memiliki asal: 1. Tafsir, 2. Al-Malaahim, dan 3. Al-Maghaaziy.”

Dan adalah wajib mengumpulkan riwayat-riwayat tertentu dari berbagai kitab yang berbeda-beda, seperti kitab-kitab Hadits dan menjelaskan nilai atau derajat sanad-sanadnya, kemudian disebutkan di dalam Tafsir riwayat yang shahih tanpa sanad, sebagaimana yang telah disebutkan di dalam kitab-kitab Fiqh, akan tetapi disandarkan kepada para Mukharrij (Para pencatat Hadits, seperti Imam Bukhari, Muslim, dan lain-lain).

Dampak Munculnya Isra’iliyyat di dalam Tafsir

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa munculnya Isra’iliyyat (terlebih pada zaman Tabi’in dan setelahnya) telah menghilangkan ke-tsiqah-an pada banyak kitab Tafsir. Karena yang demikian dapat merusak kekayaan khazanah Tafsir Al-Qur’an, dan mencoreng muka sebagian Shahabat yang mulia, dan para Ulama terkemuka, karena sebagian riwayat Isra’iliyyat ini disandarkan kepada mereka, atau (dengan dalih) bahwa merekalah yang menukil dari Ahli Kitab. Dan juga dapat memberi musuh Islam kesempatan untuk mencela agama Islam dan Kaum Muslimin, bahwasanya umat ini tidak dapat meng-klarifikasi suatu khabar yang datang dan tidak dapat membedakan antara khabar yang benar maupun yang dusta.

Oleh karena itu wajib bagi para Mufassir untuk memiliki kepekaan ketika membaca riwayat-riwayat yang dinisbahkan kepada para tabi’in, terlebih ketika menganalisa riwayat dari Ahli Kitab. Dan hendaklah menjauhi tafsiran-tafsiran yang tidak masuk akal dan menyalahi nash-nash yang shahih. Dan jika memungkinkan, sebaiknya menjauhi khabar atau riwayat yang dinukil dari Bani Isra’il, karena yang demikian itu lebih utama dan lebih selamat, daripada terpuruk ke dalam kehinaan.

[] Wallahu A’lam Bish Shawab…

Bahan Bacaan:

1. Diraasat wa Mabaahits fii Taarikh at-Tafsiir wa Manaahij al-Mufassiriin, DR. Hasan Yunus Hasan ‘Ubaydu.

2. (Muqaddimah) Tafsiir Ibnu Katsir.

3. Manaahil al’Irfaan fii Uluum al-Qur’aan, DR. Abdul Azhiim az-Zarqaaniy


[1] Isra’iliyyat, adalah bentuk plural dari Isra’iliyyah; Merupakan suatu tafsiran (kejadian) yang disandarkan kepada Ahli Kitab yang sesuai dengan tsaqafah mereka, yang bersumber dari Taurat dan Injil.

Kata (Isra’iliyyat) dinisbahkan kepada Isra’il (Nabi Ya’kub AS), anak cucu Beliau dinamakan Bani Isra’il.


Satu respons untuk “Munculnya Pemalsuan dan Isra’iliyyat di Dalam Tafsir

  1. Mengenai pemalsuan tafsir ini, saya ingin bertanya.Adakah aturan aturan ataupun perundangan yg mengatur publikasi sebuah tafsir atau aplikasi tafsir di internet.
    Saudara-saudara pasti tahu bahwa ada forum/blog yg melecehkan Islam dg hadits dan penerjemahan Al Qur’an yg ngawur dan tak bertanggung jawab.
    Mereka menghina Rasullullah dg tulisan yg keji.Pada kenyataannya, ketika ada yg mengajak debat, para pembuat blog ngawur itu hanya jawab asal-asalan.
    Bisakah saudaraku semua disini membahas arti dari Surah Al Ma’arij ayat 29-30, mengingat saya ragu dg arti/tafsiran yg ada di internet.Adakah unsur isra’illiyat pada tafsir atas ayat tersebut.
    Terima kasih bila sudi membalas ke email saya.
    Wassalamu’alaikum wr.wb.

Tinggalkan komentar