AL-RIJS DALAM AL-QUR’AN: Suatu Kajian Tafsir Tematik

(Bagian Pertama)

Oleh: Hemi Ratmayanti, S.Th.I

(Alumnus Pesantren Abū Hurayrah Sapeken, Jawa Timur)

A. Pendahuluan

Al-Qur’an al-karīm merupakan petunjuk (hudan) bagi manusia dan pembeda (al-furqān)[1] mana yang benar dan yang salah, mana yang bersih dan mana yang kotor. Ia mengumpulkan hukum-hukum dari umat-umat terdahulu serta berita-berita tentang mereka. Ia juga memadukan kepekaan syi‘ir dengan kefasihan prosa, antara pokok-pokok akidah dengan prinsip-prinsip akhlak serta hukum-hukum praktis; memadukan antara tuntunan jasmani dan ruhani sebagai pegangan, kebaikan dunia dan akhirat.[2]

Manusia sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Syams (91): 7-10, pada dasarnya diciptakan oleh Allah subhānahu wa ta‘ālā dalam keadaan suci dan sempurna, tapi ia dapat tercemar menjadi kotor jika kesucian dan kesempurnaan itu tidak dijaga. Hati yang suci itu dapat dikotori oleh berbagai macam perbuatan dosa,[3] baik kecil maupun besar. Sehingga, jika dosa itu menumpuk di hati seseorang, maka akibatnya akan menjadikan orang itu bertambah mudah dalam melakukan berbagai pelanggaran, dan bahkan ia akan merasa tidak ragu-ragu lagi dalam melakukan dosa-dosa besar, apalagi dosa-dosa kecil.

Khamr dan perjudian bukanlah sesuatu yang langka bagi masyarakat Indonesia, sehingga tidak heran persoalan-persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini semakin hari semakin rumit. Kesyirikan pun semakin hari semakin marak, bahkan melalui media televisi pun kesyirikan itu diserukan, dikemas dengan berbagai nama dan merek. Wanita-wanita pun tidak merasa malu lagi memperlihatkan auratnya padahal Allah telah menyatakan “wa lā tabarrajna tabarruj al-jāhiliyyat al-ūlā” janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliyah dahulu, dan masih banyak lagi perbuatan kotor yang menurut persepsi mereka, itu adalah perbuatan yang baik. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan kotor itu semua bahkan mengundang kehancuran hati dan berakibat azab yang dahsyat dari Allah subhānahu wa ta‘ālā tanpa mereka sadari.

Umat terdahulu ditimpakan azab oleh Allah subhānahu wa ta‘ālā disebabkan pelanggaran-pelanggaran yang mereka lakukan, kaum ‘Ād dan kaum Tsamūd contohnya, mereka diazab oleh Allah subhānahu wa ta‘ālā karena menentang seruan rasul dengan tetap melakukan kesyirikan dan larangan-larangan Allah.[4]

Perbuatan-perbuatan itu, dalam al-Qur’an disebut dengan term rijs, yakni suatu perbuatan yang kotor menurut pandangan tabi‘at, akal, dan syara‘, sehingga terkadang diartikan dengan kekufuran, hukuman dan atau bahkan azab dari Allah subhānahu wa ta‘ālā.[5] Term al-rijs ini, disebut sembilan kali dalam al-Qur’an yaitu dalam QS. Al-Mā’idah (5): 90, QS. Al-An‘ām (6): 125, QS. Al-An‘ām (6): 145, QS. Al-A‘rāf (7): 71, QS. Al-Tawbah (9): 95, QS. Al-Tawbah (9): 125, QS. Yūnus (10): 100, QS. Al-Hajj (22): 30, QS. Al-Ahzāb (33): 33.[6]

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis menganggap perlunya permasalahan al-rijs ini dibahas lebih detail lagi dengan menggunakan metode tafsir mawdhū‘iy (tematik) agar petunjuk dan kandungan al-Qur’an tentangnya dapat terungkap.

B. Pengertian Al-rijs

Kata al-rijs terdiri dari huruf rā’, jīm, dan sīn yang pada mulanya menunjukkan arti ikhthilāth (percampuran/ kekacauan/ kekusutan/ ketidakteraturan). Dari kata ini muncul kalimat رَجَسَتِ السَّمَاءُ artinya langit itu bergemuruh atau berpetir.[7] Dalam kamus Lisān al-‘Arab, Ibn Manzhūr menerangkan bahwa al-rijs berarti sesuatu yang kotor, yang diibaratkan dari sesuatu yang haram, perbuatan buruk, siksaan, laknat, dan kekufuran.[8]

Menurut al-Fayruzzabādiy, kata al-rijs berarti الْقَذْرُ (kotor); الْمَأْثَمُ (dosa); وَكُلُّ مَا اسْتَقْذَرَ مِِنَ الْعَمَلِ (dan setiap perbuatan kotor atau buruk); وَالْعَمَلُ الْمُؤَدِّي إِلىَ الْعَذَابِ (dan setiap perbuatan yang dapat mengakibatkan siksaan); الشَكُّ (ragu); العِقَابُ (hukuman); الغَضَبُ (kemurkaan).[9]

Al‑Rāgib al‑Ashfahāniy (w. 503 H) menyebutkan bahwa term al-rijs terdapat pada empat bentuk; (1) kotor menurut pandangan tabiat, (2) kotor menurut pandangan akal, seperti main judi dan minum khamr karena sesuatu yang bahayanya lebih besar daripada manfaatnya secara logika mesti dijauhi, (3) kotor menurut pandangan syara‘, seperti babi, dan (4) kotor menurut pandangan tabiat, akal, dan syara‘ sekaligus, seperti bangkai.[10]

Dari penjelasan di atas maka dapat difahami bahwa kata al-rijs adalah segala macam perbuatan kotor yang mengandung azab, atau segala macam bentuk azab Allah subhānahu wa ta‘ālā akibat perbuatan kotor.

C. Ungkapan Al-rijs Dalam Al-Qur’an

Dalam menafsirkan al-Qur’an, pengamatan terhadap pengertian kosakata, demikian juga dengan pesan-pesan yang dikandung oleh satu ayat, hendaknya diarahkan antara lain kepada bentuk dan timbangan kata yang digunakan, subjek dan objeknya, serta konteks pembicaraannya. Bentuk kata dan kedudukan i‘rāb, misalnya, mempunyai makna tersendiri. Bentuk ism memberi kesan kemantapan, fi‘il mengandung arti pergerakan, bentuk rafa‘ menunjukkan subjek atau upaya, nashb yang menjadi objek dapat mengandung arti ketiadaan upaya, sedang al-jar memberi kesan keterkaitan dalam keikutan.[11]

Dalam hal ini, ungkapan kata al-rijs dalam al-Qur’an didapati hanya dalam bentuk ism yang memiliki berbagai beberapa arti yang tampaknya berbeda, namun secara konseptual mengacu pada pengertian yang sama, sebagai berikut:

1. Dalam QS. Al-A‘rāf (7): 71, ungkapan rijs berarti “kebencian” yang menimpa umat Nabi Hud, sebagai berikut:

قال قد وقع عليكم من ربكم رجس وغضب أتجدلونني في أسمآء سميتموها أنتم وءابآؤكم ما نزل الله من سلطن فانتظروا إنِّي معكم من المنتظرين.

Terjemahnya:

Dia (Hūd) menjawab, “Sungguh, kebencian dan kemurkaan dari Tuhan akan menimpa kamu. Apakah kamu hendak berbantah denganku tentang nama-nama (berhala) yang kamu dan nenek moyangmu buat sendiri, padahal Allah tidak menurunkan keterangan untuk itu? Jika demikian, tunggulah! Sesungguhnya aku pun bersamamu termasuk yang menunggu”. [12]

2. Dalam QS. Yūnus (10): 100, ungkapan al-rijs berarti “azab” terhadap mereka yang tidak mempergunakan potensi akalnya, sebagai berikut:

وما كان لنفس أن تؤمن إلا بإذن الله ويجعل الرجس على الذين لا يعقلون

Terjemahnya:

Dan tidak seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah menimpakan azab kepada orang-orang yang tidak mengerti.[13]

3. Dalam QS. Al-An‘ām (6): 125, ungkapan al-rijs berarti “siksa” terhadap mereka yang tidak mau beriman, sebagai berikut:

فمن يرد الله أن يهديه يشرح صدره للإسلام ومن يرد أن يضله يجعل صدره ضيِّقا حرجا كأنَّما يصّعّد في السَّمآء كذلك يجعل الله الرجس على الذين لا يؤمنون

Terjemahnya:

Barangsiapa dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia akan membukakan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barangsiapa dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia jadikan dadanya sempit dan sesak, seakan-akan dia (sedang) mendaki ke langit. Demikanlah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.[14]

4. Dalam QS. Al-An‘ām (6): 145, ungkapan rijs berarti “makanan kotor” yang diharamkan, sebagai berikut:

قل لآ أجد في ما أوحي إليّ محرماً على طاعم يطعمه إلآ أن يكون ميتة أو دما مسفوحا أو لحم خنْزير فإنّه رجس أو فسقاً أهِلّ لغير الله به فمن اضْطرّ غير باغ ولا عاد فإنّ ربك غفور رحيم

Terjemahnya:

Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakanya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi – karena semua itu kotor – atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa, bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh, Tuhan-mu Mahapengampun, Mahapenyayang”.[15]

5. Dalam QS. Al-Ahzāb (33): 33, ungkapan al-rijs berarti “dosa”, sebagai berikut:

وقرن في بيوتكُنّ ولا تبرّجن تبرّج الجهلية الأولى وأقمن الصلوة وءاتين الزكوة وأطعن الله ورسوله إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا

Terjemahnya:

Dan hendaklah kamu tetap di rumah-mu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliyah dahulu, dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bayt dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.[16]

6. Dalam QS. Al-Hajj (22): 30, ungkapan al-rijs berarti “penyembahan terhadap berhala”, sebagai berikut:

ذلك ومن يُعظِّم حُرمت الله فهو خيْر له عند ربِّه وأُحلّتْ لكم الأنعام إلا ما يُتلى عليكم فاجْتنبوا الرجسَ من الأوثان واجْتنبوا قولَ الزورِ

Terjemahnya:

Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa yang terhormat di sisi Allah (hurumāt), maka itu lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan dihalalkan bagi kamu semua hewan ternak, kecuali yang diterangkan kepadamu (keharamannya), maka jauhilah (penyembahan) berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan dusta.[17]

7. Dalam QS. Al-Mā’idah (5): 90, ungkapan rijs berarti “perbuatan keji” setan, sebagai berikut:

يأيُّها الذين ءامنوا إنما الخمر والميسر والأنصاب والأزلام رجس من عمل الشّيطن فاجتنبوه لعلكم تفلحون

Terjemahnya:

Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.[18]

8. Dalam QS. Al-Tawbah (9): 95 dan 125, ungkapan rijs berarti “jiwa kotor” dan “kekufuran” yang merupakan gambaran hati munafik, sebagai berikut:

سيحلفون بالله لكم إذا انقلبتم إليهم لتعرضوا عنهم فأعرضوا عنهم إنهم رجس ومأوـهم جهنم جزآء بما كانوا يكسبون

Terjemahnya:

Mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, ketika kamu kembali kepada mereka, agar kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka itu berjiwa kotor dan tempat mereka neraka Jahannam, sebagai balasan atas apa yang mereka kerjakan.[19]

وأمّا الذين في قلوبهم مرض فزادتهم رجسا إلى رجسهم وماتوا وهم كفرون

Terjemahnya:

Dan adapun orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit, maka (dengan surat itu) akan menambah kekafiran mereka yang telah ada, dan mereka mati dalam keadaan kafir.[20]

Dari ungkapan-ungkapan yang terdapat dalam al-Qur’an tersebut di atas, maka al-rijs yang mulanya berarti campuraduk (ikhthilāth) adalah perbuatan kotor manusia, baik lahir maupun batin yang berakibat pada turunnya azab Allah subhānahu wa ta‘ālā dapat juga dikatakan bahwa rijs itu merupakan kekotoran material maupun spiritual, yang mengakibatkan gangguan fisik maupun jiwa, sedang gangguan merupakan siksaan, maka kata ini berkembang maknanya menjadi azab.

D. Term-term yang Semakna dengan Al-rijs

1. Al-rijz; kata ini terdiri dari huruf rā’, jīm, dan zā’ yang asal artinya adalah idhthirāb (kegoncangan).[21] Dalam al-Qur’an kata al-rijz digunakan sebanyak sembilan kali; tujuh kali makkiyyah dan dua kali madaniyyah,[22] antara lain; dalam QS. Saba’ (34): 5 dan QS. Al-Jātsiyah (45): 11 (عَذَابٌ مِنْ رِجْزٍ أَلِيْمٍ) azab dari azab yang pedih; QS. Al-Baqarah (2): 59, QS. Al-‘Ankabūt (29): 34 dan QS. Al-A‘rāf (7): 162 (رِجْزًا مِنَ السَّمَاءِ); azab dari langit; QS. Al-Anfāl (8): 11 (رِجْزَ الشَّيْطَانِ) godaan setan; dan QS. Al-Muddatstsir (74): 5 (وَ الرُّجْزَ فَاهْجُرْ); tinggalkan berhala atau dosa.[23] Penulis berkesimpulan bahwa antara al-rijz dan al-rijs dari segi muatan konsep makna adalah sama, hanya saja, nampaknya ulama berbeda dari segi qira’at-nya.

2. Al-najas; kata ini terdiri dari huruf nūn, jīm, dan sīn yang asal artinya antonym dari kata thahārah (suci).[24] Dalam al-Qur’an kata ini disebut hanya sekali saja,[25] yaitu dalam QS. Al-Tawbah (9): 28 (إِنَّمَا المُشْرِكُوْنَ نَجَسٌ), sesungguhnya orang musyrik itu najis. A. Hassan menjelaskan maksud kata najis dalam ayat tersebut adalah najis maknawi yakni i‘tiqad mereka yang najis bukan badan mereka.[26] Dari penjelasan tersebut penulis berkesimpulan bahwa antara makna al-najas dan al-rijs adalah sama.

3. Al-khabats; kata ini terdiri dari huruf khā’, bā’, dan tsā’ yang asal artinya antonym dari kata al-thayyib (baik).[27] Dalam al-Qur’an kata ini dengan segala perubahannya disebut sebanyak 13 kali,[28] diartikan sebagai suatu perbuatan yang dibenci, rendah dan hina menurut rasa dan akal, termasuk di dalamnya kebatilan dalam hal i‘tiqad, perkataan dusta, dan segala perbuatan buruk, antara lain; dalam QS. Al-A‘rāf (7): 157

(وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الخَبَائِثَ)

segala macam perbuatan buruk; QS. Al-Anbiyā’ (21): 74

(كَانَتْ تَعْمَلُ الخَبَائِثَ)

berbagai keburukan di antaranya homoseksual; QS. Āli ‘Imrān (3): 179 dan QS. Al-Anfāl (8): 37

(لِيَمِيْزَ اللهُ الخَبِيْثَ مِنَ الطَّيِّبِ)

yang buruk; QS. Al-Mā’idah (5): 100

(قُلْ لاَ يَسْتَوِيْ الخَبِيْثَ وَالطَّيِّبِ)

kafir atau perbuatan yang rusak; QS. Ibrahīm (14): 26

(وَمَثَلِ كَلِمَةٍ خَبِيْثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيْثَةٍ اجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ الأَرْضِ مَا لَهَا مِنْ قَرَار(ٍ

kalimat yang buruk bagaikan pohon yang buruk. Kalimat yang buruk merupakan isyarat kalimat kufur, dusta, namīmah (adu domba).[29] Dari penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa al-khabīts dan al-rijs merupakan satu makna yang intinya perbuatan buruk yang mengundang azab Allah subhānahu wa ta‘ālā.

4. Al-qabīh; kata ini terdiri dari huruf qāf, bā’, dan hā’ yang asal artinya antonym kata al-husn (baik), yakni sesuatu, keadaan atau perbuatan yang tidak sedap dipandang mata dan jiwa.[30] Dalam al-Qur’an kata ini disebut hanya sekali saja,[31] yaitu dalam QS. Al-Qashash (28): 42

(وَيَوْمَ القِيَامَةِ هُمْ مِنَ المَقْبُوْحِيْنَ)

orang yang dijauhkan. Allah subhānahu wa ta‘ālā menamai orang kafir dengan kata itu karena dalam hati mereka ada sifat rajāsat dan najāsat dan berbagai macam sifat buruk lainnya yang pada akhirnya mereka dijauhkan dari kebaikan, rahmat, dan karunia Allah subhānahu wa ta‘ālā.[32] Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa al-qabīh dan al-rijs adalah semakna dari sudut penyebabnya maupun akibatnya.

5. Al-sayyi’ah; kata ini berasal dari سَاءَ – سَوَاءً وَسَوْأً وَمَسَاءَةً antonym kata al-hasanah berarti sesuatu yang jelek, buruk, atau jahat. Dari arti tersebut dapat diuraikan bahwa ia merupakan segala sesuatu yang menyusahkan seseorang berupa persoalan duniawi dan ukhrawi serta keadaan-keadaan fisik dan mental.[33] Dalam al-Qur’an kata al-sayyi’ah dengan segala perobahan katanya disebutkan sebanyak 167 kali,[34] antara lain; dalam QS. Yūsuf (12): 53

(إِنَّ النَّفْسَ لأَمَّارَةٌ بِالسُّوْءِ)

kejahatan; QS. Al-Zumar (39): 51

(فَأَصَابَهُمْ سَيِّئَاتُ مَا كَسَبُوْا)

hukuman; QS. Ālu ‘Imrān (3): 193

(وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا)

dosa-dosa; QS. Al-Nahl (16): 27

(وَالسُّوْءَ عَلىَ الكَافِرِيْنَ)

azab; QS. Gāfir (40): 40

(مَنْ عَمِلَ سَيِّئَةً فَلاَ يُجْزَى إِلاَّ مِثْلَهَا)

berarti kejahatan. Penulis dapat menyimpulkan bahwa al-sayyi’ah dan al-rijs dari segi makna adalah sama hanya saja penggunaan kata sayyi’ah ini lebih sering digunakan dibanding rijs.

6. Al-syarr; kata ini berarti bersifat jahat, berbuat jahat, dosa, yang busuk perangai, antonym kata al-khayr. Sebagaimana kata al-khayr merupakan segala sesuatu yang disukai maka syarr merupakan segala sesuatu yang tidak disukai atau dibenci.[35] Dalam al-Qur’an kata syarr dengan segala perobahannya disebutkan sebanyak 31 kali,[36] antara lain dalam QS. Al-Baqarah (2): 216

(وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوْا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ)

sesuatu yang buruk; QS. Al-Falaq (113): 2-5; dan QS. Al-Nās (114): 4; yang berarti kejahatan, QS. Al-Isrā’ (17): 83

(وَإِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ كَانَ يَئُوْسًا)

kesusahan, QS. Shād (38): 55

(وَإِنَّ لِلطَّاغِيْنَ لَشَرَّ مَئاَبٍ)

berarti tempat kembali yang buruk. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa antara al-syarr dan al-rijs terdapat persamaan makna mengenai perbuatan jahat yang mengakibatkan bencana atau azab yang sangat buruk.

7. Al-fāhisyah; kata ini berasal dari kata fahusya yang berarti buruk, keji, kotor. Fāhisyah adalah segala sesuatu yang dihimpun oleh apa yang dianggap sangat buruk oleh akal sehat, agama, budaya, dan naluri manusia atau apa saja yang keburukannya sangat besar baik itu berupa perbuatan maupun perkataan. Dalam al-Qur’an kata ini biasa digunakan untuk makna berzina atau yang setingkat dengannya seperti homoseksual. Tetapi tidak selalu demikian. Sementara ulama berpendapat bahwa jika kata tersebut berbentuk ma’rifah (al-fāhisyah) maka ia bermakna zina dan yang semacamnya, sedang bila berbentuk nakirah (fāhisyah) maka ia mencakup aneka macam kedurhakaan.[37] Dalam Al-Qur’an kata al-fāhisyah dengan segala perubahannya disebut sebanyak 24 kali,[38] antara lain; dalam QS. Al-Nūr (24): 21

(وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالفَحْشَاءِ وَالمُنْكَرِ)

berbagai perbuatan keji; QS. Āli ‘Imrān (3): 135

(وَالَّذِيْنَ إِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةٌ أَوْ ظَلَمُوْا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوْا الله)

berbagai kekejian; QS. Al-An‘ām (6): 151

(وَلاَ تَقْرَبُوْا الفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ)

perbuatan-perbuatan keji. Dari penjelasan tersebut disimpulkan bahwa al-fāhisyah dan al-rijs adalah semakna karena antara keduanya juga mencakup aneka macam kedurhakaan, keburukan, dan kekejian yang berakibat pada kemurkaan Allah subhānahu wa ta‘ālā.

8. Al-itsm, kata ini berasal kata atsima yang berarti dosa (al-dzanbu) atau mengerjakan sesuatu yang tidak halal. Menurut al-Ashfahāniy, ia merupakan sebuah nama bagi suatu perbuatan yang menghambat pahala.[39] Term ini dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 48 kali dalam berbagai kata bentukannya. Kata itsm difahami sebagai perbuatan dosa yang berhubungan dengan khamr sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah (2): 219, dan syirik seperti dalam QS. Al-Nisā’ (4): 48. Al-Qur’an juga memberi sifat kepada dosa sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah (2): 219, QS. Al-Syūrā (42): 37, QS. Al-Najm (53): 32, dan dosa yang sangat besar sebagaimana dalam QS. Al-Nisā’ (4): 48, dosa yang nyata dalam QS. Al-Nisā’ (4): 20, 50, 112, dan QS. Al-Ahzāb (33): 58, dosa yang luar dan dalam sebagaimana dalam QS. Al-An‘ām (6): 120. Jadi term al-itsm dalam al-Qur’an digunakan untuk menyebut semua jenis dosa besar, yang tampak maupun yang tersembunyi, yang berkaitan dengan manusia maupun dengan Tuhan. Sedangkan dosa kecil dalam al-Qur’an disebut al-lamam, seperti tersebut dalam QS. Al-Najm (53): 32. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa antara al-rijs dan al-itsm memiliki kesamaan maksud dan tujuan.

E. Al-Rijs Dalam Surah-surah Makkiyah dan Madaniyyah.

Pengetahuan terhadap makkiy dan madaniy[40] adalah sangat penting bagi seorang mufassir, karena dapat menjadi alat bantu dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an, di samping itu seorang mufassir dapat meresapi gaya bahasa al-Qur’an dan mengetahui kesimpulan bagaimana al-Qur’an menangani tema atau istilah al-rijs serta perkembangan maknanya sehingga dapat dimanfaatkan dalam metode dakwah.[41]

Ayat-ayat yang menggunakan term al-rijs menurut urutan kronologisnya, ditemukan pada tiga surah makkiyyah, sebagai berikut:

1. QS. Al-A‘rāf (7): 70, menerangkan tentang azab dan kemurkaan Allah subhānahu wa ta‘ālā, ungkapan tersebut terkait dalam konteks kisah kaum ‘Ād yang menentang seruan rasul untuk bertauhid;

2. QS. Yūnus (10): 100, menerangkan bahwa Allah subhānahu wa ta‘ālā akan menimpakan azab terhadap mereka yang tidak menggunakan potensi akalnya, ungkapan tersebut terkait dalam konteks tidak adanya paksaan dalam beriman dan kisah ummat nabi Yūnus yang terhindar dari azab Allah subhānahu wa ta‘ālā;

3. QS. Al-An‘ām (6): 125, menjelaskan bahwa Allah subhānahu wa ta‘ālā akan menimpakan azab terhadap mereka yang tidak mau beriman, ungkapan ini terkait dalam konteks tipu daya (makar) orang-orang kafir ketika datang risalah kepada mereka.

4. QS. Al-An‘ām (6): 145, menerangkan bahwa makanan yang kotor menurut hukum Allah subhānahu wa ta‘ālā hanya empat macam; bangkai, darah yang mengalir, daging babi, dan sembelihan selain untuk Allah subhānahu wa ta‘ālā, ungkapan ini terkait dalam konteks di mana orang-orang musyrik yang menghalalkan dan mengharamkan sesuatu menurut selera mereka.

Adapun ayat-ayat madaniyyah yang berbicara tentang term al-rijs, ditemukan pada empat surah, sebagai berikut:

1. QS. Al-Ahzāb (33): 33, menjelaskan mengenai kehendak Allah subhānahu wa ta‘ālā untuk mensucikan ahl al-bayt dari perbuatan dosa, ungkapan ini terkait dalam konteks mengenai istri-istri nabi yang dilarang tabarruj al-jāhiliyyah, al-khudhū’ bi al-qawl, serta fāhisyah;

2. QS. Al-Hajj (22): 30, menerangkan tentang perintah Allah subhānahu wa ta‘ālā agar menjauhi penyembahan terhadap berhala, ungkapan ini terkait dalam konteks penyembelihan hewan kurban dalam pelaksanaan ibadah haji;

3. QS. Al-Mā’idah (5): 90, menjelaskan tentang perintah Allah subhānahu wa ta‘ālā agar menjauhi perbuatan kotor setan sebagai upaya dalam meraih sebuah kesuksesan, ungkapan ini terkait dalam konteks masyarakat pada masa itu gemar minum khamr, berjudi, berkurban untuk berhala, dan mengundi nasib sehingga tidak jarang terjadi perkelahian di antara mereka;

4. QS. Al-Tawbah (9): 95, menerangkan bahwa orang-orang munafik itu kotor hatinya, ungkapan ini terkait dalam konteks ajakan agar mereka beriman dan berjihad bersama Rasulullah shallā Allāh ‘alayhi wa sallam namun mereka enggan dengan mengemukakan uzur dan dalih, bahkan berani bersumpah atas nama Allah subhānahu wa ta‘ālā, agar tidak dikecam dan supaya direstui tidak ikut dalam Perang Tabuk;

5. QS. Al-Tawbah (9): 125, menjelaskan tentang penyakit hati orang-orang munafik yang semakin hari bertambah kufur, ungkapan ini terkait dalam konteks pandangan kaum munafikin terhadap kaum mukminin.

Dari penjelasan tersebut di atas, penulis dapat menarik sebuah konklusi bahwa term al-rijs dalam ayat-ayat makkiyah didominasi oleh makna azab sebagai akibat dari suatu pelanggaran sedangkan pada ayat-ayat madaniyyah lebih cenderung didominasi makna suatu pelanggaran yang menjadi penyebab adanya azab. (bersambung)

Endnote:

[1] Lihat, QS. Al-Baqarah (2): 185

[2] Daud al-‘Aththār, Mujaz ‘Ulūm Al-Qur’ān, diterjemahkan oleh Afif Muhammad dan Ahsin Muhammad dengan judul, Perspektif Baru Ilmu Al-Qur’an, (Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 1994 M.), h. 44

[3] Perbuatan dosa itu mengandung arti mengerjakan sesuatu yang tidak diperbolehkan dan segala perbuatan yang menghambat adanya pahala. Lihat, Majd al-Dīn Muhammad ibn Ya‘qūb al-Fayruzzabādiy, Al-Qāmūs al-Muhīth, (Cet. I; Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1425 H.-2004 M.), h. 1086; Al‑Rāgib al‑Ashfahāniy, Mu‘jam Mufradāt Alfāzh al‑Qur’ān, (Cet. I; Beirūt: Dār al-Kutub al‑’Ilmiyyah, 1418 H.‑ 1997 M.), h. 16

[4] QS. Al-A‘rāf (7): 77, 166; QS. Al-Furqān (25): 21; QS. Al-Thalāq (65): 8

[5] Al‑Rāgib al‑Ashfahāniy, op. cit., h. 212

[6] Muhammad Fu’ād ‘Abd al-Bāqiy, Mu‘jam al-Mufahras li Alfāzh Al-Qur’ān al-Karīm, (Indonesia: Maktabah Dahlān, t.th.), h. 382

[7] Ahmad ibn Fāris, Mu‘jam al-Maqāyis fī al‑Lugah, (Cet. I; Beirūt: Dār al‑Fikr, 1415 H.-1994 M.), h. 443; Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al‑Munawwir, (Cet. XXV; Surabaya: Pustaka Progressif, 1997 M), h. 360, 475

[8] Abū al-Fadhl Jamāl al-Dīn Muhammad ibn Mukrim ibn Manzhūr al-Afriqiy al-Anshāriy, Lisān al-‘Arab, Jilid VI, (Beirūt: Dār Shādir, t.th.), h. 94

[9] Majd al-Dīn Muhammad ibn Ya‘qūb al-Fayruzzabādiy, op.cit., h. 572

[10] Al‑Rāgib al‑Ashfahāniy, loc. cit.

[11] Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Cet. XXIX; Bandung: Mizan, 1426 H.-2006 M.), h. 116

[12] Departemen Agama RI., Al-Hikmah: Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Cet. X; Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2005 M.), h. 159

[13] Ibid., h. 220

[14] Ibid., h. 144

[15] Ibid., h. 147

[16] Ibid., h. 422

[17] Ibid., h. 335

[18] Ibid., h. 123

[19] Ibid., h. 202

[20] Ibid., h. 207

[21] Ahmad ibn Fāris, op. cit., h. 443; Majd al-Dīn Muhammad ibn Ya‘qūb al-Fayruzzabādiy, op. cit., h. 535

[22] Muhammad Fu’ād ‘Abd al-Bāqiy, op. cit., h. 381-382

[23] Al‑Rāgib al‑Ashfahāniy, op. cit., h. 212; Syāh Waliyyullāh al-Dahlawiy, Fath al-Khabīr bi mā lā budda min Hifzhihi fī ‘Ilm al-Tafsīr, (Peshawar: Isyā’āt Islām Kutub Khānah, t.th.), h. 144; Abū al-Wafā’ Tsanā’ullāh al-Hind al-Amrit-sariy, Tafsīr Al-Qur’ān bi Kalām al-Rahmān, (Cet. I: Riyādh: Dār al-Salām, 1423 H.-2002 M.), h. 210; Menurut Muhammad Quraish Shihab, kata al-rujz (dengan dhammah pada rā’) atau al-rijz (dengan kasrah pada rā’) keduanya merupakan cara yang benar untuk membacanya, dan sebagian ulama tidak membedakan arti yang dikandungnya. Ulama yang tidak membedakan kedua bentuk kata tersebut mengartikannya dengan dosa, sedangkan ulama yang membedakannya menyatakan bahwa al-rujz berarti berhala. Lebih jauh lagi, sebagian ahli bahasa berkata bahwa huruf (ز ) zā’ pada al-rijz dapat dibaca dengan huruf (س ) sīn, dengan demikian pengertian antara al-rijz dengan al-rijs adalah sama. Lihat, Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’ān, Volume XIV, (Cet. III; Jakarta: Lentera Hati, 2002 M.), h. 556

[24] Ahmad ibn Fāris, op. cit., h. 1013

[25] Muhammad Fu’ād ‘Abd al-Bāqiy, op. cit., h. 861

[26] Al‑Rāgib al‑Ashfahāniy, op. cit., h. 537; Lihat pula, A. Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, Jilid I, (Bandung: CV Diponegoro, 2000 M.), h. 388

[27] Ahmad ibn Fāris, op. cit., h. 339

[28] Muhammad Fu’ād ‘Abd al-Bāqiy, op. cit., h. 287

[29] Al‑Rāgib al‑Ashfahāniy, op. cit., h. 158-159

[30] Ahmad ibn Fāris, op. cit., h. 870; Al‑Rāgib al‑Ashfahāniy, op. cit., h. 436

[31] Muhammad Fu’ād ‘Abd al-Bāqiy, op. cit., h. 271

[32] Al‑Rāgib al‑Ashfahāniy, op. cit., h. 436; Muhammad Quraish Shihab, Tafsīr Al-Mishbāh, op. cit., Volume X, h. 353; ‘Abdul Qadīr Hassan, mengartikan kata al-maqbūhīn dengan arti orang-orang yang dijelekkan, yang diburukkan. Lihat, ‘Abdul Qadīr Hassan, Qāmūs Al‑Qur’ān, (Cet. VI; Bāngil: Al‑Muslimūn, 1411 H.‑1991 M.), h. 348

[33] Ahmad Warson Munawwir, op. cit., h. 674; Majd al-Dīn Muhammad ibn Ya‘qūb al-Fayruzzabādiy, op. cit., h. 71; Al‑Rāgib al‑Ashfahāniy, op. cit., h. 276-277; Muhammad Quraish Shihab menjelaskan bahwa Al-sū’ itu adalah perbuatan yang mengotori jiwa, yang berdampak buruk, walaupun tanpa sanksi duniawi seperti berbohong, dengki, dan angkuh atau segala sesuatu yang tidak menyenangkan, baik menurut ukuran nalar maupun perasaan. Lihat, Muhammad Quraish Shihab, Tafsīr Al-Mishbāh, op. cit., Volume I, h. 355 dan Volume VI, h. 198; Ibnu Taymiyah dalam tafsirnya mengatakan bahwa kata sayyi’ah terkadang diartikan sebagai tempat atau keadaan yang buruk, juga bermakna syirik. Lihat, Taqiy al-Dīn ibn Taymiyah, Al-Tafsīr al-Kabīr, Juz III, (Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), h. 13

[34] Muhammad Fu’ād ‘Abd al-Bāqiy, op. cit., h. 466-470

[35] Muhammad Idrīs al-Marbawiy, Qāmūs Idrīs al-Marbawiy: Arabiy-Melayu, (Beirūt: Dār al-Fikr, t.th.), h. 316; Majd al-Dīn Muhammad ibn Ya‘qūb al-Fayruzzabādiy, op. cit., h. 439; Al‑Rāgib al‑Ashfahāniy, op. cit., h. 288-289

[36] Muhammad Fu’ād ‘Abd al-Bāqiy, op. cit., h. 480

[37] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhar, Kamus Krapyak Kontemporer Arab–Indonesia, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika Ponpes Krapyak, t.th.), h. 1377-1378; ‘Abdul Qadīr Hassan, op. cit., h. 280-281; Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid I, (Cet. II; Singapura: Pustaka Nasional, 1993 M.), h. 377; Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, op. cit., Volume I, h. 541; Volume XIV, h. 292 dan Volume VI, h. 419; Al‑Rāgib al‑Ashfahāniy, op. cit., h. 418

[38] Muhammad Fu’ād ‘Abd al-Bāqiy, op. cit., h. 651-652

[39] Majd al-Dīn Muhammad ibn Ya‘qūb al-Fayruzzabādiy, op. cit., h. 1086; Al‑Rāgib al‑Ashfahāniy, op. cit., h. 16

[40] Makkiy adalah ayat-ayat yang turun sebelum hijrah, dan madaniy adalah ayat-ayat yang turun sesudahnya (hijrah), baik ayat itu turun ketika Nabi Muhammad saw. di Makkah ataupun di Madinah. Lihat, Jalāl al-Dīn ‘Abd al-Rahmān al-Suyūthiy, Al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, Vol. I, (Cairo: Dār al-Turāts, t.th.), h. 23

[41] Mannā’ Khalīl al-Qaththān, Mabāhits fī ‘Ulūm al-Qur’ān, diterjemahkan oleh Mudzakir As dengan judul, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Cet. IX; Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2007 M.), h. 81-82; Lihat pula, Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual Al-Qur’an, (Cet. I; Bandung: Mizan, 1989 M.), 63

 


Satu respons untuk “AL-RIJS DALAM AL-QUR’AN: Suatu Kajian Tafsir Tematik

  1. saya juga alumni Pesantren Abu Hurairah, saudari hemi mungkin saya pernah kenal dengan anda, tetapi saya lupa-lupa ingat ,kalau bisa posisi anda sekarang dimana?. kajian anda memang bagus dan sangat menarik, bagaimana kalau anda juga masuk tulisan ke blok Himas (Himpunan Mahasiswa se-kecamatan sapeken) kebetulan disana ide-ide anak sapeken di eksplorasi, tentunya anda jangan terkejut karena pemikran disana sangat hederogen. selamat berkarya (sudarman,MA)

Tinggalkan komentar